Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh pada pengantin ini? Aku iseng-iseng mencari gambar pengantin batak dan kutemukan gambar seperti ini di semua hasil pencarianku.
Ironis, pernikahan Batak tapi tak seluruhnya memakai ornamen khas Batak, satu hal lagi bahkan busananya sebagai icon pernikahannya tidak memakai ulos sebagai kebanggannya. Hal ini ditemukan di hampir semua pernikahan Batak.
Iseng aku membuka artikel dan berikut kutipannya:
Merdi Sihombing: Banyak Wanita Batak Memilih Songket Palembang daripada Ulos Batak
[jarar siahaan; batak news; menjajah budaya sendiri]Ia salah satu desainer top
“Wanita Batak sangat memuja, bangga, berlomba-lomba untuk memakai kain songket
Merdi adalah pria Batak yang pernah kuliah di Institut Kesenian
Lantas kenapa [sebagian] perempuan Batak lebih memilih songket
Kualitas ulos pun secara umum kurang memadai. Kembali lagi, ini terjadi karena kurangnya perhatian dari orang-orang berpengaruh tadi. Masih banyak hal yang perlu dibenarkan, kata Merdi. Misalnya kualitas benang, komposisi dan warna, termasuk promosi.
Danau Toba pada tahun 2010 telah dicanangkan pemerintah sebagai tujuan wisata yang akan menjadi sumber pendapatan beberapa kabupaten. Tapi hingga kini upaya-upaya mendukung program tersebut, termasuk salah satunya pengembangan ulos, dinilai nyaris tidak terdengar.
Kata Merdi, para politikus Batak ramai-ramai ingin mewujudkan Propinsi Tapanuli dengan semboyan dan harapan yang muluk-muluk, tapi mereka tidak memikirkan masyarakat bawah yang berpenghasilan dari membuat ulos sebagai pelengkap tujuan wisata.
Kalau kita tidak ingin ulos semakin hilang dilindas pengaruh budaya lain, maka semua pihak harus berusaha mengubah pemikiran yang kerap muncul di kalangan wanita Batak bahwa, “Ulos tidak berharga, kuno, kasar, tidak indah, it’s not cool.”
Secara teknis aku buta tentang penerapan motif ulos pada busana modern. Tapi kupikir seorang Merdi sangat menguasainya, dan itulah yang dia pikirkan dan kerjakan selama ini. Mungkin pendapat Dewi Motik pada tahun 1980 berikut ini masih relevan untuk disimak dan dijadikan pemacu hasrat kita sebagai pencinta ulos:
“Kesukaran saya, sebagian besar warna ulos itu gelap. Juga lebar kainnya yang cuma 60 cm, sehingga tidak mudah dikembangkan untuk model-model rok yang lebih bebas.”
Merdi Sihombing adalah desainer kebanggaan
Ia juga bangga menjadi orang Batak. Suratnya padaku “marpasir-pasir” alias berbahasa
Tanggal 5 besok ia berada di
Selamat berkarya, Lae Merdi. Hanya dengan tulisan pendek ini aku bisa membantu cita-citamu mengangkat derajat ulos kita. [www.jararsiahaan.com]
CATATAN BATAK NEWS: Seusai menulis artikel ini aku teringat pada sejumlah kawan dan familiku, orang-orang Batak di Balige, yang dengan alasan ajaran agamanya rela membakar ulos. Duh, menyedihkan: mengaku orang Batak tapi tidak mau memakai ulos.
Foto di atas adalah gambar Merdi [kanan] bersama Nai Marudut boru Situmorang — seorang pengrajin ulos dengan alat-tenun tangan di Desa Lumban Suhisuhi, Kabupaten Samosir. Ulos buatan Nai Marudut pernah diberikan kepada Paus Yohanes Paulus II ketika berkunjung ke
Sementara foto di sebelah ini adalah gambar pengantin Charly Silaban dan istrinya,
[www.blogberita.com]
Begitulah kutipannya, tragis, tapi lebih tragis bila kita tidak sadar. Dan marilah kita kembali ke asal menggunakan ULOS BATAK. Horas!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar