Sebelah kanan disebut Santa Claus, sebelah kiri disebut Sinterklas sebenarnya namanya sama saja. Mereka berdua seketika jadi banyak fansnya karena sebentar-sebentar ada yang minta foto bareng. Padahal pada awalnya sangat sulit untuk mencari orang yang terbeban jadi mascot Natal ini.
Udah jadi tradisi di perayaan Natal kampus ada acara bagi-bagi permen begini. Nanti Santa Clausnya bawa sekantung permen dan berjalan dari pintu masuk sampai ke depan membagi-bagikan permen.
Tadi aku menyempatkan diri sebentar ke Pajak USU buat beli peralatan tulis. Bela-belain kesana coz harga-harga barang such as peralatan tulis, aksesoris, software/hardware komputer sampai makanan ringan namun cukup mengenyangkan dijual disana dengan harga yang terjangkau mahasiswa. Tapi aku kan bukan mahasiswa lagi? Sepertinya tampangku masih jadi aku bela-belain kesana demi harga miring.
Udara dingin khas bulan Desember, angin semriwing, kubangan air yang nyiprat ke sepatu dan lalu lalang manusia memenuhi jalan-jalanku menuju ke tempat itu. Kiri kanan jalan juga dipenuhi dengan sablonan undangan perayaan Natal dari berbagi fakultas. Dari waktu sampai thema perayaan. Mahasiswa yang aktif pasti lagi sibuk sekarang. Mungkin lebih sibuk dari kepanitiaan-kepanitiaan acara lain karena menurutku perayaan Natal adalah acara termeriah sepanjang tahun, acara dengan budget paling besar, dan jumlah tim juga paling banyak. Bangga sudah pernah ikut serta dalam kepanitian seperti itu beberapa tahun yang lalu when I was younger than now. Hehehe.
It was four years ago. Thema perayaan Natal di atas aku yang rancang beberapa bulan sebelumnya sesuai dengan program kerja divisiku “Divisi Pelayanan dan Doa”. Awalnya aku nonton film Natal di kostan, “Home Alone” or maybe “Serendipity”. Kata-kata itu_Keep Christ in Christmas tertulis di atas palang kayu tua yang bersalju. Mengingatkan orang-orang yang lalu lalang di sekitanya bahwa perayaan Natal bukanlah sekedar perayaan, bukan cuma hiasan dan pesta yang meriah dan gegap gempita, bukan cuma kelahiran Juru S’lamat yang setiap tahun selalu dirayakan tetapi peringatan mengenai arti dari sosok Kristus itu sendiri yang lahir di hati setiap manusia berdosa yang menerima Dia sebagai Tuhan dan Juru S’lamat yang hidup. Tetaplah ingat Yesus Kristus bukan perayaannya karena Dia lah inti dari semua perayaan itu. Hari semakin dingin ketika aku kembali ke masa-masa itu, menjadi mahasiswa, menjadi anak kost, terpisah bermil-mil jauhnya dari keluarga dan Natalan bersama teman-teman yang bernasib sama. It doesn’t matter if we’re not alone.
That’s our Christmas Tree. Very simple.Ada dua, di setiap sisi panggung depan. Salah satu mascot Natal karena daun-daunnya sangat segar and always green in every season. Foto diatas adalah pohon cemara asli, entah bagaimana tim peralatan dan perlengkapan mendapatkannya karena setiap tim sangat semangat untuk bekerja dan memberikan yang terbaik. Setiap tahun selalu seperti itu, tak lengkap rasanya Natalan tanpa pohon ini kan? Tak lengkap juga tanpa kado-kado di bawahnya. Tidak terlalu repot juga mencari kotak-kotak itu dan kemudian membungkusnya. Itu pekerjaan yang sangat menarik. Sayangnya kotak-kotak itu kosong. Hahaha. Menarik memang membungkusnya tapi cukup berat untuk mengisinya dengan sesuatu yang berharga.
Nah, ecek-eceknya ini adalah kandang ternak di dekat gua kelahiran Yesus. Yang ngerjain ini adalah Tim Pubdekdok (Publikasi, dekorasi dan dokumentasi). Rada ribet sih ngerjainnya karena ini dikerjain pas GR dan itupun udah siang karena paginya mahasiwa harus ngampus dulu. Kalau menurut aku ini udah bagus coz ada pancurannya yang pakai air asli gitu trus aliran airnya berbunyi gitu jadi kesannya back to nature banget, kurangnya mungkin gak ada ternak-ternaknya, minimal ternak palsu. Tim Pubdekdok sih ngakunya kekurangan budget dan kebetulan nggak ada yang berbakat menirukan setidaknya ayam dan domba. Oh ya?
Nah kalau yang ini adalah gua kelahiran Yesus kita. Kalau dipikir sih, Yesus PD banget mau lahir di gua, dekat kandang ternak lagi. Dua kata_NGGAK KEBAYANG. Secara langsung Yesus ngajarin kita untuk nggak sombong dan tetap rendah hati. Yesus yang adalah King of The King aja mau lahir di gua, bagaimana dengan kita? Zaman sekarang banyak orangtua calon-calon bayi yang menurutku rada aneh. Buat yang cukup kaya bela-belain melahirkan bayinya di luar negeri. Bukan karena para orangtua itu meragukan tenaga medis lokal tetapi biar di akte kelahiran bayi-bayi yang mereka lahirkan tertera nama kota, Paris, Frankfurt, New Castle atau San Fransisco. Cukup keren kan? Ada lagi orangtua yang maunya melahirkan di RS elit dan ditangani dokter terkenal. Tidak ada yang salah sih, hanya saja terlalu berlebihan. Aku saja hanya lahir di rumah Oppungku tercinta dengan bantuan bidan yang saat ini sudah meninggal dunia. Dengan hanya penerangan lampu minyak karena saat itu listrik belum masuk desa. Oh Jesus, we have similiarity. Hehehe.
This is the team. Bisa dilihat, pada tanggal itu, kami masih ada di kampus semua. Nggak ada yang pulang kampung coz kampong halaman sangat jauh dari mata. Jadi kami sepakat merasakan Natal bersama-sama di kampus kami yang tercinta ini. We’ve separated but we’re still remember each other. Kita dulu membangun kampus kita bersama-sama dan sekarang kita harus mengingat kenangan ini bersama-sama, saat ini pada bulan yang sama, bulan Desember.
Moment yang wajib ada di setiap perayaan Natal. Saat penerangan dimatikan dan yang ada hanya nyala lilin dan lagu O Holy Night atau Malam Kudus. Pada saat ini bulu kudukku selalu merinding bukan karena ada makhluk halus yang lewat tapi karena perasaan yang hanyut sama suasana (hahay). Suasana Natalnya kerasa banget, di saat itu audience yang hadir memikirkan hal yang sama. Saat-saat kelahiran Juru S’lamat manusia. Aku ingat banget, selesai perayaan pasti banyak lilin yang sisa. Lilin-lilin itu kemudian kami kumpulkan dan kami Natalan lagi di kostan sampai lilin-lilin itu habis.
Don’t you see, that’s me? Mungkin terlalu gelap jadi aku nggak kelihatan ya? Aku memang jadi salah satu singer saat itu dan itu tim musiknya. Wuahh, rasanya gimana banget pas bisa melihat semua isi ruangan, biasanya cuma jadi pendengar budiman aja dan sekarang jadi pengisi acara. Hehehe. Kenapa ada balon? Karena hari itu Ultahnya Yesus. Coba ada kue tart juga ya?
Duduknya sih paling belakang, tapi mereka jadi yang terdepan dan sangat menentukan terlaksananya perayaan ini. Wah, kalau diperhatikan kebanyakan anak fakultas Hukum nih. But give thank’s kepada tim Danus (Dana dan Usaha) yang susah payah, mondar mandir nyari donatur dan keluar masuk instansi buat ngusahain dana yang lumayan besar. Rekrut orang buat jabatan ini juga paling susah dibandingkan semua jabatan di kepanitiaan. Aku memang nggak pernah sih menduduki jabatan ini, tapi aku pernah ikut mengusahakan dana ke pemerintahan kota. Perjuangan yang berat! Tapi sangat menyenangkan.
Sound system di mix match disini. Suaraku sih tergolong kecil, suara mike ku digedein biar suaraku nggak kebanting sama suara penyanyi lain. Hahaha. Yang terpenting adalah hati yang melayani. Everything is under control guys.
Ini Operete Natal persembahan Fakultas Ekonomi. Kebetulan kami dapat Juara 1 untuk persembahan Natal terbaik antar fakultas. Nggak sia-sia deh diriku pakai baju Miss Universe jadi-jadian itu, mahkota bertatahkan berlian itu dibeli di pajak tepatnya di tempat mainan anak-anak.. Mereka asal kasih peran aja ke semua orang dan sialnya semua menerima perannya. Ada yang jadi sopir angkot, mentri, dokter, mahasiswa sampai pedagang sayuran. Idenya juga dadakan, namanya juga operete jadi-jadian. Ya begini deh jadinya. Hehehe.
Donat adalah salah satu cemilan favoritku. Biasanya sih kalau makan nggak cukup cuma satu. Kalau beli lebih dari satu kok kayaknya mahal banget. Hehehe... Jadi yah biar bisa makan sampai puas bikin sendiri ajahh. Selain gampang, bahan-bahannya murah, rasanya enak dan higienis. Sangat tepat ditemani dengan secangkir kopi, sangat matcing bila dikondisikan dengan cuaca hujan di akhir tahun ini. Hmm.. so romantic. Mumpung punya talent buat masak dan kondisi mendukung, mari kita masak sendiri makanan kita. Fighting!!
Biar teman-teman juga bisa coba, berikut resepnya. Selamat mencoba donat bikinan sendiri!
Bahan:
300 g tepung terigu
1/2 bks (5,5 g) ragi instan
3 kuning telur ayam, kocok
2 sdm margarin
150 ml susu cair hangat
minyak untuk menggoreng Olesan:
100 g cokelat masak pekat, lelehkan
100 g meisjes/cokelat beras Cara membuat:
-Campur tepung terigu dan ragi, aduk rata.
-Tambahkan telur dan maragarin sambil uleni hingga rata.
-Tuangkan susu sedikit demi sedikit sambil uleni hingga kalis benar. Bulatkan adonan, taruh di tempat hangat selama 45 menit hingga mengembang dua kali semula.
-Kempiskan adonan, bagi menjadi 12 bagian. Bulatkan masing-masing lalu – bentuk dengan tangan hingga berlubang tengahnya.
- Taruh di loyang bersemir minyak dan biarkan selama 10 menit hingga mengembang.
-Panaskan minyak banyak di atas api kecil. Goreng donat hingga kecokelatan dan matang. Angkat, tiriskan dan dinginkan.
-Olesi permukaan tiap donat dengan cokelat leleh. Taburi dengan cokelat dan diamkan hingga mengeras. Sajikan.
Baru saja aku lelah mencari, mencari dan terus mencari sesuatu yang hilang. Lalu pikiranku singgah disini. Di penat yang merata dan membius pikiranku sekian lama. Kembali ke asalku, Batak. Apa yang akan kulakukan dengan ke Batakanku, inilah dia. Pointer ku telah menjelajah dan sampai ke suatu titik yang akan dituju sebahagian besar manusia di muka bumi ini terlebih oleh bangsa-bangsa Batak. Pernikahan.
Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh pada pengantin ini? Aku iseng-iseng mencari gambar pengantin batak dan kutemukan gambar seperti ini di semua hasil pencarianku.
Ironis, pernikahan Batak tapi tak seluruhnya memakai ornamen khas Batak, satu hal lagi bahkan busananya sebagai icon pernikahannya tidak memakai ulos sebagai kebanggannya. Hal ini ditemukan di hampir semua pernikahan Batak.
[jarar siahaan; batak news; menjajah budaya sendiri]
Ia salah satu desainer top Indonesia. Ia berteriak lantang: justru orang Batak “memuja” songket Palembang dan “melupakan” ulos. Kini ia tengah mengerjakan proyek pengembangan ulos yang didukung negara asing, Austria. Ironis. “Wanita Batak sangat memuja, bangga, berlomba-lomba untuk memakai kain songket Palembang pada setiap momen yang berkesan buat hidupnya,” kata Merdi Sihombing pada imel yang dia kirim ke blog Batak News beberapa hari lalu. “Wanita Batak banyak mengoleksi kain songket Palembang yang ditawarkan dengan harga yang sangat fantastis sebagai prestise bahwa hidup mereka sangat berlebihan.”
Merdi adalah pria Batak yang pernah kuliah di Institut Kesenian Jakarta [IKJ], “tapi belum tamat.” Pada tahun 2002 ia sudah menjadi perancang busana langganan sejumlah selebritis, antara lain Feby Febiola, tulis harian Kompas — yang menyebut rancangan Merdi sebagai “keindahan dalam kesederhanaan”. Aku juga pernah melihat namanya tercantum sebagai desainer model cantik di majalah seksi Popular beberapa tahun silam.
Lantas kenapa [sebagian] perempuan Batak lebih memilih songket Palembang? Merdi menjawab, karena orang-orang berpengaruh di kalangan Batak, seperti seniman, rohaniawan, pengusaha, dan pejabat pemerintah tidak peduli melestarikan dan mengembangkan ulos. Ia menilai, hanya pedagang dan pengrajin uloslah yang peduli pada kain dengan tiga warna khas itu — hitam, merah, dan putih.
Kualitas ulos pun secara umum kurang memadai. Kembali lagi, ini terjadi karena kurangnya perhatian dari orang-orang berpengaruh tadi. Masih banyak hal yang perlu dibenarkan, kata Merdi. Misalnya kualitas benang, komposisi dan warna, termasuk promosi.
Danau Toba pada tahun 2010 telah dicanangkan pemerintah sebagai tujuan wisata yang akan menjadi sumber pendapatan beberapa kabupaten. Tapi hingga kini upaya-upaya mendukung program tersebut, termasuk salah satunya pengembangan ulos, dinilai nyaris tidak terdengar.
Kata Merdi, para politikus Batak ramai-ramai ingin mewujudkan Propinsi Tapanuli dengan semboyan dan harapan yang muluk-muluk, tapi mereka tidak memikirkan masyarakat bawah yang berpenghasilan dari membuat ulos sebagai pelengkap tujuan wisata.
Kalau kita tidak ingin ulos semakin hilang dilindas pengaruh budaya lain, maka semua pihak harus berusaha mengubah pemikiran yang kerap muncul di kalangan wanita Batak bahwa, “Ulos tidak berharga, kuno, kasar, tidak indah, it’s not cool.”
Secara teknis aku buta tentang penerapan motif ulos pada busana modern. Tapi kupikir seorang Merdi sangat menguasainya, dan itulah yang dia pikirkan dan kerjakan selama ini. Mungkin pendapat Dewi Motik pada tahun 1980 berikut ini masih relevan untuk disimak dan dijadikan pemacu hasrat kita sebagai pencinta ulos:
“Kesukaran saya, sebagian besar warna ulos itu gelap. Juga lebar kainnya yang cuma 60 cm, sehingga tidak mudah dikembangkan untuk model-model rok yang lebih bebas.”
Merdi Sihombing adalah desainer kebanggaan Indonesia. Tahun ini ia ditunjuk pemerintah sebagai salah satu dari 12 fesyen desainer untuk pengembangan kain tenun tradisional. Ia pun sering berpameran bersama perancang busana papan atas sekelas Oscar Lawalata, Ghea Panggabean, dan Samuel Wattimena. Tahun lalu ia mengangkat kain tradisional suku Badui dalam sebuah pameran setelah mengamati suku tersebut selama tiga tahun.
Ia juga bangga menjadi orang Batak. Suratnya padaku “marpasir-pasir” alias berbahasa Indonesia yang dicampur bahasa Batak.
Tanggal 5 besok ia berada di Medan. Tanggal 8 di Pulau Samosir selama tiga hari untuk pemotretan keperluan buku ulos Batak, Natural Thing. Tanggal 11 menyeberang ke Muara, kecamatan kecil nan indah di tepi Danau Toba. Tanggal 13 baru akan kembali ke Jakarta.
Selamat berkarya, Lae Merdi. Hanya dengan tulisan pendek ini aku bisa membantu cita-citamu mengangkat derajat ulos kita. [www.jararsiahaan.com]
CATATAN BATAK NEWS: Seusai menulis artikel ini aku teringat pada sejumlah kawan dan familiku, orang-orang Batak di Balige, yang dengan alasan ajaran agamanya rela membakar ulos. Duh, menyedihkan: mengaku orang Batak tapi tidak mau memakai ulos.
Foto di atas adalah gambar Merdi [kanan] bersama Nai Marudut boru Situmorang — seorang pengrajin ulos dengan alat-tenun tangan di Desa Lumban Suhisuhi, Kabupaten Samosir. Ulos buatan Nai Marudut pernah diberikan kepada Paus Yohanes Paulus II ketika berkunjung ke Indonesia pada 1990.
Sementara foto di sebelah ini adalah gambar pengantin Charly Silaban dan istrinya, Regina, yang dengan bangga mengenakan ulos Batak — walaupun pihak orangtua sempat menganjurkan memakai songket Palembang. Mereka melangsungkan pernikahan di Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut, sebulan lalu.
[www.blogberita.com]
Begitulah kutipannya, tragis, tapi lebih tragis bila kita tidak sadar. Dan marilah kita kembali ke asal menggunakan ULOS BATAK. Horas!!
Terinsipirasi dari film yang aku tonton kemarin saat keadaanku tidak baik dengan flu yang tiba-tiba menyerang, Letter Of Juliet memberikan inspirasi kepada manusia yang masih percaya cinta sejati. Mungkin terlalu berlebihan, tapi pesan-pesannya memberikan kekuatan dan rasa percaya diri.
Ada sebuah kota di Italia (negara yang begitu aku kagumi setelah Indonesia)_ Kota itu Verona, kota penuh cinta dan tempat pengharapan untuk setiap perempuan yang jatuh cinta. Semua perempuan di seluruh penjuru dunia datang dan menuliskan kisah - kisah mereka dan meletakkan itu semua di dinding batu dan berharap Juliet (sang pelindung perempuan yang jatuh cinta) membalasnya dan memberikan jalan keluar. Menarik, tentu saja karena saat itu juga aku ingin segera berada di kota itu. Yahhh mungkin suatu saat...
Satu hal yang aku pahami bahwa kita tak perlu menunggu lama untuk cinta dan kesalahan-kesalahan yang terjadi saat menunggu mungkin akan memberikan kita kedewasaan. Seperti kata-kata yang aku kutip dari film itu. "Apa artinya kata 'bagaimana' dan 'jika' bila dipisahkan? Bila 'Bagaimana jika' disatukan dia akan lebih kuat" Jadi bagaimana jika aku mengejar cintaku? Sebaiknya kita coba dan jangan hanya menyimpannya dalam pikiran dan hati. Aku rasa perempuan-perempuan dari seluruh dunia akan mendapatkan balasan yang membuat mereka tidak perlu merasa bersedih lagi.
Verona... semoga bisa kesana suatu saat nanti!!! *hope*